Oleh: Muhammad Ridwan, Alumni Universitas Malikussaleh.
Bayangkan sebuah keluarga besar. Orang tuanya sudah tua, rumahnya luas, tetapi semakin sulit mengurus semua anak dan cucu yang bertaburan di mana-mana. Akhirnya, sang ayah memutuskan, sudah saatnya anak-anaknya mandiri, membangun rumah tangga sendiri. Mereka pun menikah, pindah, dan membentuk keluarga baru. Mereka tidak membuat orang tua bangkrut, justru meringankan beban sambil tetap saling mendukung. Bahkan, kalau anak sulung sudah berusia kepala tiga belum juga berumah tangga, teman-temannya pasti menggoda, ayo dong, jangan selamanya di rumah orang tua.
Itulah tamsilan Daerah Otonomi Baru atau DOB di bumi Pase Aceh Utara untuk Aceh Malaka dan Kota Panton Labu. Seperti anak yang dimandirikan, DOB adalah wilayah baru yang dimekarkan dari kabupaten atau provinsi induk. Mereka diberi hak otonom untuk mengatur rumah tangganya sendiri, meratakan pembangunan, mendekatkan pelayanan publik, dan mengelola potensi lokal dengan lebih leluasa. Semua ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bukan pelemahan, melainkan regenerasi yang sehat.
Ambil contoh Kabupaten Aceh Utara. Lahir pada 24 November 1956, tahun ini genap berusia 69 tahun, usia yang dalam istilah dunia kerja sudah menjelang pensiun bagi seorang profesor atau peneliti ahli utama. Seperti orang tua yang mulai kelelahan, Aceh Utara tidak seharusnya dibebani terlalu berat. Bayangkan jika harus menjalani operasi ginjal, satu bagian dipindah agar yang tersisa bisa bekerja maksimal, menyaring darah, membuang limbah, dan menjaga keseimbangan tubuh. Itulah makna pemekaran, bukan mematikan, tetapi menyegarkan.
Aceh Utara sudah dua kali berhasil melakukannya. Pada 4 Oktober 1999, ia memandirikan Kabupaten Bireuen. Lalu pada 17 Oktober 2001, lahirlah Kota Lhokseumawe sebagai kota mandiri. Hasilnya, induk tetap kuat dan anak-anak berkembang pesat. Coba bayangkan jika sekarang orang Samalanga masih harus mengurus berkas ke Lhoksukon. Atau bayangkan orang-orang di Cunda masih ber-KTP Kabupaten Aceh Utara padahal tinggal di kota yang ramai dan berkembang, tetapi statusnya masih kecamatan.
Kini giliran berikutnya, Kabupaten Aceh Malaka dan Kota Panton Labu. Tidak ada yang salah dengan itu. Malah menarik, karena pemimpin Aceh Utara saat ini justru berasal dari calon DOB tersebut. Bupati berasal dari Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, sementara wakil bupatinya dari Sawang, bagian dari Aceh Malaka. Mereka seperti anak yang sudah sukses dan kini membantu orang tua dari posisi yang lebih baik.
Namun, di balik itu ada cerita pilu dari masyarakat. Di Sawang, Muara Batu, Nisam, dan Nisam Antara, warga harus menempuh jarak jauh ke Lhoksukon hanya untuk mengurus KTP atau KK. Pelayanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi terasa jauh. Pusat pemerintahan di Lhoksukon seperti orang tua yang kelelahan mengurus rumah besar sendirian.
Ada juga yang khawatir, nanti aset berharga seperti Pelabuhan Krueng Geukueh, PT Pupuk Iskandar Muda, atau PT KKA akan ikut pindah ke Aceh Malaka. Kekhawatiran itu tidak beralasan. Pemekaran justru mendekatkan pengelolaan aset kepada rakyat dan membuatnya lebih efisien. Ini bukan perampasan, melainkan pembagian tugas yang adil.
Di bawah slogan Aceh Utara Bangkit, kepemimpinan Ayahwa-Panyang dalam lima tahun ke depan membawa niat mulia. Regenerasi ini adalah bagian dari kebangkitan. Mari kita dukung bersama. Aceh Utara tidak akan lemah. Ia akan menjadi seperti pohon tua yang ranting-ranting barunya tumbuh subur, membawa buah lebih banyak untuk semua.
Regenerasi bukan akhir, tetapi awal dari kekuatan baru. Saatnya anak-anak Aceh Utara berumah tangga sendiri. Siapa tahu, kelak mereka kembali membantu orang tua agar lebih kuat lagi. Kita masih satu Provinsi Aceh dan masih ureung Pase.





