Oleh: Jihan Fanyra
Setiap pergantian tahun Hijriah, sebagian masyarakat Indonesia—khususnya di wilayah Jawa—dihadapkan pada tumpang tindih makna antara 1 Muharram dan 1 Suro. Meskipun kedua tanggal ini merujuk pada hari yang sama dalam penanggalan Hijriah dan Jawa, pemaknaannya berkembang ke arah yang berbeda, mencerminkan dinamika antara spiritualitas Islam dan tradisi lokal.
Dalam tradisi kejawen, 1 Suro diyakini sebagai malam sakral yang sarat makna mistik. Sejumlah masyarakat memilih untuk tidak bepergian, menghindari hajatan, bahkan melakukan ritual seperti tapa bisu, jamasan pusaka, atau ziarah ke tempat keramat. Keyakinan bahwa malam 1 Suro membawa aura gaib yang kuat telah membentuk perilaku kolektif masyarakat selama bertahun-tahun. Penelitian Heru Nugroho (2009) dalam Jurnal Humaniora mencatat bahwa fenomena ini bukan sekadar kepercayaan turun-temurun, melainkan bagian dari upaya membangun kohesi sosial melalui simbol-simbol budaya yang kuat.
Sementara itu, dalam Islam, 1 Muharram menandai dimulainya tahun baru Hijriah yang mulia. Rasulullah SAW menyebut Muharram sebagai “bulan Allah” dan menganjurkan umatnya untuk memperbanyak amal, termasuk puasa sunnah. Momentum ini menjadi titik refleksi atas hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah—sebuah peristiwa historis yang mengajarkan nilai perjuangan, transisi, dan pembaruan spiritual. Berbagai literatur Islam klasik maupun kontemporer menyepakati bahwa tidak ada satu pun hadis sahih yang menyebut malam 1 Muharram sebagai waktu yang membawa kesialan.
Namun dalam realitasnya, masyarakat cenderung lebih waspada terhadap simbolisme malam Suro dibanding menyambut Muharram sebagai momen spiritual. Misalnya, dalam laporan Kompas (2020), sejumlah warga di wilayah Yogyakarta menunda resepsi pernikahan hanya karena bertepatan dengan 1 Suro. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan budaya masih mendominasi ruang kesadaran masyarakat, bahkan dalam pengambilan keputusan penting.
Fenomena ini menyiratkan bahwa masyarakat masih berada dalam pusaran antara ketakutan kolektif terhadap mitos dan kebutuhan spiritual yang dibimbing oleh agama. Namun demikian, menyalahkan tradisi semata tanpa memahami akar historis dan fungsinya dalam kehidupan sosial justru bersifat kontraproduktif.
Tradisi, selama tidak melanggar prinsip tauhid dan ajaran agama, tetap dapat menjadi bagian dari kekayaan peradaban yang layak dirawat. Yang diperlukan adalah upaya edukatif untuk memperkaya pemaknaan, bukan menghapus eksistensinya. Dalam pandangan antropolog Niels Mulder, agama dan budaya tidak selalu berada dalam rel yang bertabrakan—sering kali, keduanya dapat saling melengkapi ketika tersedia ruang dialog yang sehat.
Pendidikan keagamaan menjadi kunci penting dalam membina pemahaman masyarakat tentang Muharram tanpa mematikan nilai-nilai tradisional. Pendekatan kultural oleh para dai, guru, hingga tokoh masyarakat dapat menjadi jembatan antara teks keagamaan dan konteks lokal. Misalnya, mengganti ritual tapa bisu dengan malam renungan hijrah, atau mengisi malam 1 Suro dengan kegiatan dakwah budaya, bisa menjadi jalan tengah yang memelihara semangat spiritual sekaligus menjaga identitas lokal.
Sudah saatnya 1 Muharram dimaknai sebagai titik tolak perbaikan diri, bukan sebagai momen yang menakutkan. Alih-alih terkungkung oleh warisan mitos, masyarakat dapat didorong untuk membuka diri terhadap makna hijrah—berpindah dari ketakutan menuju keberanian, dari ketidaktahuan menuju pencerahan. Budaya dan agama tak harus saling meniadakan, selama tersedia ruang dialog dan pendidikan yang mencerahkan.
Di antara 1 Suro dan 1 Muharram, dibutuhkan kebijaksanaan kolektif untuk memilah dan memaknai. Agar semangat hijrah tidak hanya menjadi simbol, tetapi menjadi gerak nyata dalam membangun masyarakat yang lebih religius, inklusif, dan beradab.
Opini ini ditulis oleh Jihan Fanyra, mahasiswa semester 4 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe. NIM: 202331013. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan institusi tempat penulis menempuh pendidikan maupun media yang memuatnya.